Minggu, 04 Juni 2017

USHULFIQH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kajian Ushul-l-Fiqh, terdapat istilah Al-Hukum, Al-Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih. Dalam perkembangannya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu Al-Hukum, Al-Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih. Kerana semua pengertian mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul-l-Fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaannya.
Konsep dasar tentang Al-Hukum, Al-Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih penuh perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaannya dalam hukum islam. Sebagai mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua umat islam dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Hukum ?
2.      Siapakah yang menjadi Hakim ?
3.      Apaitu Mahkum Fiih ?
4.      Apaitu Mahkum‘Alaih ?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Hukum(الحُكْمُ )
Hukum (الحُكْمُ ) menurut bahasa artinya: menetapkan sesuatu atas sesuatu ( اثبات شئ على شئ ), sedangkan menurut istilah ialah, khitab ( titah ) Allah SWT atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik titah itu mengandung tuntutan suruhan, larangan atau membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau memperbolehkan sesuatu, atau menjadikan suatu sebab syarat atau penghalang bagi suatuhukum.[1]

2.      Hakim ( الحَاكِم )
            Telah di jelas kan bahwa definisi hokum syar’i adalah: “ Titah Allah SWT yang berhubungan  dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan – ketentuan “.
            Dari definisi itu dapat dipahami bahwa“ Pembua tHukum “ ( Syar’i/ الشارع ) dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia  diatas bumi ini dan dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun  untuk kepentingan hidup diakhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah SWT, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dari alam sekitarnya.
           


            Dari pengertian diatas, tidak diragukan lagi bahwa Hakim yang sesungguhnya adalah Allah SWT, karena  telah disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al-An’amayat 57, yang berbunyi: ( إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّه ) yang artinya: sesungguhnya tidak ada hukum kecuali Allah.[2]
3.      Mahkum Fih ( المَحْكُمْ فِيْهِ )
            Mahkum Fih dapat disebut juga dengan Mahkum Bih atau dimaksud dengan objek hukum yang memiliki arti sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh pembuat hokum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama ushulfiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hukum, yaitu sesuatu yang berlaku pada hokum syara’. Objek hokum adalah “perbuatan” itu sendiri .Hukum itu berlakup ada perbuatan dan bukan pada zat.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hokum taklifi dan hokum wadh’i.
a.       HukumTaklifi
Hukum Taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hokum pemberian beban. Sedangkan menurut istilah ketentuan Allah SWT yang menuntut mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan atau berbentuk pilihan  untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Macam-macam Hukum Taklifi dan bentuknya:
1)      Al-Ijab: Suatu perintah yang harus dikerjakan dan tidak boleh ditinggalkan. Apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan mendapat hukuman bagi yang meninggalkannya. Bentuk hukum dari Al-Ijab disebut Wajib.
2)      Nadb: Suatu perintah yang tidak harus dikerjakan hanya anjuran untuk melaksanakannya. Atau diesbut juga dengan Sunah.
3)      Al-Karahah: Sesuatu yang dituntut syariat kepada mukalaf untuk meninggalkannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti. Bentuk hokum dari Al-Karahah disebut Makruh.
4)      At-Tahrim: Tuntutan Syar’i untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Bentuk hokumnya disebut Haram.
5)      Al-Ibahah: Yaitu firman Allah SWT yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Bentuk Hukum dari Al-Ibahah adalah Mubah.[3]
a.       Hukum Wadh’i
      Titah Allah SWT  yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi itu disebut hokum wadh’i. Hukum wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkahlaku manusia tetapi bias berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan mukalaf yang dinamakan hokum takilifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab, dan yang diberi sebab, atau syarat dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan halangan.[4]
Para ulama sebagaimana diringkas Hasbi Ash-Shidiqy menetapkan bahwa hukum wadh’i ada tiga, yaitu:
1)      الْحُكْمُ عَلَى الْوَصْفِ بِكَوْنِهِ سَبَبًا
( Menetapkan sesuatu sebagai sebab )


Contoh:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. (Al-Isra : 78)
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibya shalat.
2)      الْحُكْمُ عَلَى الْوَصْفِ بِكَوْنِهِ شَرْطًا
(Menetapkan sesuatu sebagai syarat )
Contoh:
”Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).” (QS. An-Nisa: 6)
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
3)      الْحُكْمُ عَلَى الْوَصْفِ بِكَوْنِهِ مَانِعًا
( Menetapkan sesuatu sebagaimana penghalang )
Contoh:
“Pembunuh tidak mendapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapakan warisan.
4.      Mahkum ‘Alaih
Subjek hokum atau pelaku hokum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah SWT untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah SWT itu. Dalam istilah Ushul Fiqh, subjek hokum itu disebut mukallaf (المكلف ) atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum ‘alaih ( المحكم عليه ).
Ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut mukallaf ( subjek hukum ), yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah itu dan bahwa ia mampu melaksanakan tuntutan tersebut.[5] Dua hal tersebut merupakan syarat taklif atas subjek hukum. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.       Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal; karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi.
اَلِدّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ لاَدِيْنَ لِمَنْ لاَعَقْلُ لَهُ
Agama itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal.
                                    Dari urain di atas dapat disimpulkan bahwa syarat subjek hukum yang pertama adalah “balig dan berakal”. Pada dasarnya seseorang yang telah dewasa akan mampu memahami titah Allah yang menyebabkan ia telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum. Artinya, ia secara langsung memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi yang berkaitan dengan tuntutan taklif itu, baik yang tersurat, maupun yang tersirat.
b.      Ia telah mampu menerima beban  taklif atau beban hukum yang dalam istilah Ushul disebut Ahlul al-taklif ( اهل التكليف ). Kecakapan menerima taklif atau yang disebut Ahliyah (الأهلية   ) adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam yaitu, kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum. Yang dimaksud kecakapan untuk dikenai hukum yaitu, kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban.
Dan kecakapan untuk menjalankan hukum yaitu, Kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu, oleh karena itu di dalam agama islam sangat diperlukan adanya hukum, agar terjadi keteraturan di dalam kehidupan manusia. Sedangkan pencipta hukum itu sendiri adalah Allah dan juga bertindak sebagai hakim.
Dalam setiap hukum pasti membutuhkan objek sebagai sasaran hukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar’i yang bersifat tuntutan mengerjakan dan disebut dengan mahkum fih. Dan objek dilakukan oleh subjek, yaitu pelaku hukum yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah. Pelaku hukum tersebut disebut dengan mahkum ‘alaih.


DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro, Totok., dan Samsul Munir Amir, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah. 2009
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011
http://www.majeliswalisongo.com/2015/10/pengertian-hukum-taklifi-dan-hukum-wadi.html



[1] Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan  Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta, 2009. Hlm. 86
[2] Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan  Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta, 2009. Hlm. 75
[3]http://www.majeliswalisongo.com/2015/10/pengertian-hukum-taklifi-dan-hukum-wadi.html
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, 2011. hlm. 394
[5] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, 2011. hlm 424

Tidak ada komentar: